Prisia Nasution meraih penghargaan sebagai Pemeran Utama Wanita Terbaik di ajang Festival Film Indonesia 2011 lewat film Sang Penari. Padahal, Sang Penari adalah film layar lebar pertama untuk Prisia.
Sebelumnya, wanita kelahiran 1 Juni 1984 ini lebih terkenal lantaran wara-wiri membintangi FTV di SCTV. Namun kecantikan dan bakat aktingnya memang sudah menjadi buah bibir banyak orang. Dan perannya di film Sang Penari yang apik serta, film Sang Penari itu sendiri yang memang mengesankan, menjadikan nama Prisia sebagai aktor yang kini mulai diperhitungkan.
Berikut petikan wawancara dengan Prisia usai menerima penghargaan Piala Citra di ajang FFI yang berlangsung Sabtu (10/12) malam.
Bagaimana perasaannya mendapatkan Piala Citra?
Alhmadulillah senang sekali. Ini film lebar pertama untuk saya, alhamdulillah.
Bagaimana usaha kamu bisa mendapatkan penghargaan bergensi ini?
Ini jujur aku nggak ada feeling. Ini bukan yang aku tuju. Pencapaian aku adalah main dengan baik. Ketika aku main, oh ya sudah, kan ada tuh rasanya. Kalau udah sreg kan ada tuh rasanya. Kalau (kemenangan) ini bonus dari apa yang kita semua usahan.
Sudah puas?
Sebenarnya kata puas itu yang mengukur nggak ada yang tahu juga. Jadi, puas tidak puas bukan pertanyaannya, tapi ke depannya saya akan berbuat yang lebih baik lagi.
Sebenarnya piala ini bukan patokan. Tapi karya-karya sebelum dan sesudah itu adalah yang menjadi tolak ukur. Jadi kalau aku melihat piala ini terus, nggak akan maju. bukan berpatokan sama piala ini, tapi piala ini adalah bonus.
Lebih menyenangkan sinetron atau film?
Sinetron aku belum pernah, aku main ftv. Tapi dua-duanya menyenangkan. Ftv itu fun, jalan-jalan. Tidak ada proses pendalaman karakter yang bagaimana. Tapi di situ ada proses pembelajaran, caranya reading cepat dan sebagainya. Kalau film itu enaknya aku punya kesempatan jauh untuk mengupas karakter yang aku mainkan.
Kesulitan main film?
kesulitan pasti banyak. Kesulitannya itu dulu, bagaimana aku jadi Srintil. Karena toh karakter yang saya mainkan buta dengan sejarah. Jadi, menurut saya, saya menutup mata saya dengan sejarah masa lalu. Jadi yang saya lakukan adalah perdalam soal ronggeng.
Banyak sih, proses reading bersama, lalu ke Banyumas-nya, interaksi dengan rengger di sana, diskusi dengan sutradara dan pemain.
Pada saat proses, iya kesulitan. Tapi saat pelaksanaan starting day one itu smooth, karena berdarah-darahnya itu saat proses itu.
Paling sulit?
pencapaian ke karakter srintil itu sendiri (berdarah-darah). kalau aku memainkan karakter yg udah ada biografinya, itu kan tinggal dicari. tapi ini bener-bener gk ada, dan harus meng-create karakter itu sendiri.
Merasa sudah terbayar?
Alhamdulillah diapresiasi apa yang aku coba tuangkan waktu itu, ternyata dihargai. Ya senanglah.
Lihat yg lebih 'vulgar' di sini !